Hendri Kampai: Korupsi Mengkorupsi, Ekosistem yang Memelihara Perampok Uang Negara

    Hendri Kampai: Korupsi Mengkorupsi, Ekosistem yang Memelihara Perampok Uang Negara

    HUKUM - Pernahkah Anda merasa marah saat menonton berita tentang seorang koruptor kelas kakap yang mencuri uang rakyat hingga triliunan, tapi hanya dijatuhi hukuman ringan—bahkan lebih ringan dari pencuri ayam di desa? Jika iya, selamat datang di negeri ajaib, di mana hukum sering kali tampak seperti lelucon dan keadilan adalah barang mewah yang hanya bisa dirasakan oleh segelintir orang.

    Mari kita bayangkan sebuah ekosistem yang rapi. Di ekosistem ini, para "penghuni" utamanya adalah koruptor. Mereka hidup dengan nyaman, saling menopang, dan bahkan saling melindungi. Istilah "korupsi mengkorupsi" bukan hanya slogan kosong. Di ekosistem ini, korupsi bukan lagi sekadar tindak pidana, tapi sudah menjadi budaya, bahkan sistem yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Lucu, tapi tragis, bukan?

    Bayangkan seorang koruptor yang tertangkap tangan mengambil miliaran dari anggaran negara. Kita, sebagai rakyat biasa, berharap dia dihukum berat, kan? Tapi apa yang terjadi? Hukuman penjara hanya beberapa tahun, dengan berbagai fasilitas mewah di dalamnya. Bahkan, ada yang bebas lebih cepat karena alasan "berkelakuan baik." Sementara itu, di sisi lain, seorang ibu rumah tangga yang mencuri beras karena anaknya kelaparan justru dijebloskan ke penjara lebih lama. Ironi ini seakan-akan mengajarkan kita bahwa mencuri kecil-kecilan itu salah, tapi mencuri dalam skala besar adalah keahlian yang dihormati.

    Lebih parah lagi, ekosistem ini tidak berdiri sendiri. Ada rantai makanan di dalamnya. Koruptor besar merekrut koruptor kecil, yang kemudian menciptakan generasi baru yang lebih "cerdas" dalam mencari celah hukum. Dari pejabat daerah hingga pejabat pusat, dari proyek kecil hingga megaproyek, semuanya diwarnai dengan praktik "bagi-bagi." Hebatnya, mereka melakukannya dengan penuh koordinasi, seakan-akan ini adalah pekerjaan profesional yang dilatih dengan tekun.

    Istilah "korupsi mengkorupsi" menggambarkan bagaimana satu tindakan korupsi akan memicu tindakan korupsi lainnya. Contohnya, seorang pejabat yang mendapatkan jabatan melalui suap tentu harus "mengembalikan modal" ketika sudah menjabat. Bagaimana caranya? Dengan mencari proyek yang bisa dimark-up, tentu saja. Di sini, korupsi menjadi lingkaran setan yang tak berujung.

    Kita sering mendengar istilah "ikan busuk dari kepalanya." Tapi di negeri ini, sepertinya seluruh tubuh ikan sudah busuk. Bukan hanya kepalanya, tapi juga ekornya. Dan di tengah kondisi seperti ini, kita semua seperti penonton yang hanya bisa menyaksikan bagaimana negara ini perlahan-lahan dimakan oleh para perampok berdasi.

    Namun, mari jujur: ekosistem ini hanya bisa tumbuh subur karena dibiarkan. Rasa malu sudah lama hilang. Hukum seakan menjadi mainan para elit, dan keadilan hanya menjadi dongeng yang disampaikan di ruang-ruang seminar. 

    Jadi, jika Anda bertanya mengapa hukuman koruptor selalu ringan, jawabannya sederhana: karena mereka adalah bagian dari sistem yang dirancang untuk melindungi diri mereka sendiri. Dan selama sistem ini dibiarkan hidup, kita hanya akan terus menyaksikan parade koruptor baru yang masuk penjara dengan "senyum kemenangan."

    Mungkin, sudah saatnya kita berhenti hanya menjadi penonton. Atau, seperti kata seorang filsuf, jika kita tidak bisa melawan mereka, maka kita akan menjadi bagian dari mereka. Pilihan ada di tangan kita: ingin menjadi penonton pasrah, atau pembawa obor perubahan?

    HhhJakarta, 24 Desember 2024
    Hendri Kampai
    Ketua Umum Jurnalis Nasional Indonesia/JNI/Akademisi

    hendri kampai korupsi
    Updates.

    Updates.

    Artikel Sebelumnya

    Hendri Kampai: Jangan Mengaku Jurnalis Jika...

    Artikel Berikutnya

    Kick Off HKSN 2024 Dimulai di Desa Talaga:...

    Berita terkait

    Rekomendasi

    Diduga Jual Air Kotor Ketua DPC Grib Jaya Akan Somasi PDAM Way Agung Tanggamus
    Hendri Kampai: Saat Politisi Terjebak Janji Politik
    MCM Dorong Menkomdigi dan DPR RI Kaji Soal Pembatasan Medsos bagi Anak-anak
    Hendri Kampai: Saat Penjahat dan Penjilat Bersatu dalam Kekuasaan, Hasilnya Pengkhianatan Terhadap Bangsa dan Negara
    Hendri Kampai: Tersangkakan Hasto, Keadilan yang Diuji dan Masa Depan KPK
    Perbedaan Mendasar Penggunaan HP 5G vs 4G saat Bermain Game dan Menonton Video
    Indonesia dan China Perkuat Kerja Sama Digital untuk Pemberdayaan Perempuan melalui MoU KADIN dan IWAPI
    Jurika Fratiwi Dikukuhkan sebagai Ketua Komisi Advokasi Perlindungan Hak Anak dan Perempuan KADIN Indonesia, Luncurkan Program Unggulan
    Perjalanan Sejarah Crédit Agricole: Dari Koperasi Petani ke Kekuatan Perbankan Global
    Permen KOPUKM No. 2 Tahun 2024 Tentang Kebijakan Akuntansi Koperasi Mewajibkan Koperasi di Audit Akuntan Publik
    Perbedaan Mendasar Penggunaan HP 5G vs 4G saat Bermain Game dan Menonton Video
    Indonesia dan China Perkuat Kerja Sama Digital untuk Pemberdayaan Perempuan melalui MoU KADIN dan IWAPI
    Jurika Fratiwi Dikukuhkan sebagai Ketua Komisi Advokasi Perlindungan Hak Anak dan Perempuan KADIN Indonesia, Luncurkan Program Unggulan
    Implementasi Kode QR dalam Laporan Auditor Independen: Langkah Maju Perlindungan Profesi Akuntan Publik Sesuai Peraturan Menteri Keuangan No.186/PMK.01/2021
    Hendri Kampai: Jangan Mengaku Jurnalis Jika Tata Bahasa Anda Masih Berantakan
    Memanfaatkan Kecerdasan Buatan untuk Narasi Interaktif dalam Pembelajaran Online
    Dugaan Korupsi Dana CSR BUMN untuk UKW, Wakomindo Laporkan Ketua PWI Pusat ke Kejati Jatim
    Pulau Dewata Bali, Surga Eksotis yang Memukau Dunia
    Perjalanan Sejarah Crédit Agricole: Dari Koperasi Petani ke Kekuatan Perbankan Global
    Polda Metro Jaya Panggil Empat Pengurus PWI Pusat, Ungkap Dugaan Penggelapan Dana oleh Hendri Ch. Bangun dan Sayyid Iskandar

    Ikuti Kami